Kitabut Tauhid Bab Hal-hal Terkait Ruqyah dan Tamimah
بسْم الله الرّحمن الرّحيْم
السّلام عليْكمْ ورحْمة الله وبرْكاته
Oleh : Ustadz Abu Hasan
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ
شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى
آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ
Dalil ke-1:
في الصحيح عن أبي بشير الأنصاري
رضي الله عنه أنه كان مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره،
فأرسل رسولاً: “أن لا يُبقين في رقبة بعير قلادة من وَتَر، أو قلادة إلاَّ
قُطِعت
Dalam hadits yang shahih dari Abu Basyir al-Anshory
–semoga Allah meridlainya- bahwasanya ia pernah bersama Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam pada sebagian safar beliau, kemudian Rasul
mengutus utusan (untuk menyampaikan perintah) : ‘Jangan biarkan ada
kalung dari tali busur panah di leher unta, atau kalung (apapun) kecuali
diputus/ dipotong’
Sumber Periwayatan Hadits
Hadits ini adalah muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim
Sebab Larangan
Para Ulama’ menyebutkan 3 sebab larangan tersebut:
1. Keyakinan bahwa dengan mengalungkan tali busur panah di leher unta
tersebut bisa menolak ‘ain. Ini adalah pendapat Imam Malik bin Anas
(riwayat Muslim). Dalilnya adalah hadits Uqbah bin ‘Amir yang marfu’
riwayat Abu Dawud
2. Tali busur panah yang dikalungkan tersebut menyakitkan bagi unta. Ini adalah Muhammad bin al-Hasan, Sahabat Abu Hanifah.
3. Sesuatu yang dikalungkan tersebut adalah lonceng. Terdapat larangan
mengalungkan lonceng pada hewan. AlHafidz menyatakan bahwa sepertinya
Imam al-Bukhari cenderung pada pendapat ini sehingga menamakan bab
diletakkannya hadits tersebut dengan : Apa yang dikatakan tentang
lonceng dan semisalnya pada leher unta.
(Lihat Penjelasan
tentang hal tersebut dalam Kasyful Musykil min Hadiitsi ash-Shahihain
juz 1 halaman 451 karya Ibnul Jauzi, dan Fathul Baari karya al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqolaany juz 6 halaman 142).
Syaikh Abdul Muhsin
al-Abbad menyatakan bahwa sebab larangan tersebut bisa jadi mencakup 3
hal itu sekaligus (Syarh Sunan Abi Dawud ). Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab meletakkan hadits ini dalam bab ini karena kesesuaian dengan
pendapat Imam Malik di atas.
Imam Malik bin Anas menyatakan
bahwa sebab larangan tersebut adalah mereka suka mengalungkan (tali
busur panah) di leher unta untuk menolak bahaya ‘ain (bahaya seperti
penyakit atau semisalnya yang disebabkan oleh pandangan mata,
pent.)(Penjelasan Imam Malik tersebut bisa dilihat pada Shahih Muslim
juz 11 halaman 33 hadits ke 3951 bab karoohatu qilaadati watr fii
roqobati ba’iir).
Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam
melarang hal tersebut untuk menghilangkan aqidah-aqidah yang batil dari
para Sahabatnya, dan supaya mereka memurnikan tawakkal dan keyakinannya
kepada Allah bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa mencegah dan
menghilangkan marabahaya kecuali Allah Subhanaahu Wa Ta’ala.
Sesuatu
yang dikalungkan pada hewan bukanlah penghalang dari marabahaya, bukan
pula sesuatu yang Allah jadikan sebab untuk menghilangkan atau mencegah
marabahaya.
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ
إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ
بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
(الأنعام:17)
Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu,
maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika
Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap
sesuatu (Q.S al-An’aam:17)
Dalil ke-2:
وَعَنِ ابْنِ
مَسْعُوْدٍ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَْيهْ ِوَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
رواه أحمد وأبو داود
Dari Ibnu Mas’ud: Aku mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda: Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah
syirik (riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Derajat Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, al-Hakim.
Shahih, dishahihkan oleh : Ibnu Hibban, al-Hakim menyatakan bahwa
sanadnya shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim(disepakati oleh
adz-Dzahaby), dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albany dalam Silsilah
al-Ahaadits as-Shahiihah (1/648)).
Riwayat dari Ibnu Hibban dan
al-Hakim adalah shohih, namun riwayat Ahmad dan Abu Dawud dilemahkan
oleh sebagian ulama’. Di dalamnya terdapat perawi yang mubham sekaligus
majhul yaitu anak saudara laki-laki Zainab istri Ibnu Mas’ud.
Sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh Ibnul Mundzir.
Kisah Terkait Hadits Tersebut
Diriwayatkan oleh al-Hakim kisah sebagai berikut:
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهَا أَصَابَهَا حُمْرَةٌ
فِي وَجْهِهَا، فَدَخَلَتْ عَلَيْهَا عَجُوزٌ، فَرَقَتْهَا فِي خَيْطٍ،
فَعَلَّقَتْهُ عَلَيْهَا، فَدَخَلَ ابْنُ مَسْعُودٍ- رضي الله عنه- فَرَآهُ
عَلَيْهَا، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقَالَتْ: اسْتَرْقَيْتُ مِنَ
الْحُمْرَةِ، فَمَدَّ يَدَهُ فَقَطَعَهَا، ثُمّ قَالَ: إِنَّ آلَ عَبْدِ
اللَّهِ لأَغْنِيَاءُ عَنِ الشِّرْكِ، قَالَتْ: ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ- صلى الله عليه وسلم- حَدَّثَنَا: “إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ
وَالتَّوْلِيَةَ شِرْكٌ” قَالَ: فَقُلْتُ: مَا التَّوْلِيَةُ؟ قَالَ:
التَّوْلِيَةُ: هُوَ الَّذِي يُهَيِّجُ الرِّجَالَ
Dari Zainab
istri Abdullah (Ibnu Mas’ud), bahwasanya ia terkena al-humroh (sejenis
penyakit) pada wajahnya. Kemudian masuklah seorang wanita tua ke
tempatnya. Kemudian wanita tua itu meruqyah pada sebuah benang dan
diikatkan pada (tangan)nya. Kemudian Ibnu Mas’ud –semoga Allah
meridlainya- melihatnya dan bertanya: Apa ini? Kemudian (istrinya)
berkata: Aku minta diruqyah karena terkena al-humroh. Kemudian Ibnu
Mas’ud menjulurkan tangannya dan memotong benang (pada tangan istrinya)
tersebut. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya keluarga Abdullah (Ibnu
Mas’ud) sangat-sangat tidak butuh dari (yang mengandung) kesyirikan.
Kemudian beliau menyatakan: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
telah mengkhabarkan kepada kita : Sesungguhnya ruqyah, tamiimah, dan
tawliyah adalah syirik. Kemudian aku (Zainab) berkata: apa tawliyah itu?
Beliau berkata: Ia adalah sesuatu yang membangkitkan (perasaan cinta)
laki-laki (diriwayatkan oleh al-Hakim dan beliau menyatakan bahwa hadits
tersebut sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim, dan
disepakati oleh adz-Dzahaby).
Penjelasan tentang Ruqyah, Tamimah, dan Tiwalah yang Merupakan Kesyirikan
1. Ruqyah
Ruqyah adalah lafadz-lafadz tertentu yang dibacakan kepada orang sakit dengan keyakinan sebagai penyebab kesembuhan.
Ruqyah tidak seluruhnya merupakan kesyirikan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ قَالَ كُنَّا نَرْقِي فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ
فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-‘Asyja’i beliau
berkata: Kami dulu biasa meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami berkata:
Wahai Rasulullah,bagaimana pendapat anda tentang hal itu? Nabi
bersabda: Tunjukkan padaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa ruqyah
selama tidak mengandung kesyirikan (riwayat Muslim).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany berkata:
قد أجمع العلماء على جواز الرقى عند اجتماع ثلاثة شروط أن يكون بكلام الله
أو بأسمائه وصفاته وباللسان العربي وبما يعرف معناه وأن يعتقد أن الرقية
لا تؤثر بذاتها بل بتقدير الله
Para Ulama telah sepakat tentang
bolehnya ruqyah jika terkumpul 3 syarat: (i) Bacaan berupa Kalaamullah
(AlQur’an) atau dengan Nama-namaNya dan Sifat-SifatNya, (ii) dengan
bahasa Arab yang dikenal maknanya, (iii) Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak
memberikan pengaruh dengan sendirinya tapi dengan taqdir Allah (Fathul
Baari juz 10 halaman 195).
2. Tamimah
Tamimah adalah
sesuatu yang dikalungkan, diikatkan pada tangan, dipakai sebagai sabuk,
diselipkan pada kopyah, atau digantungkan di dekat pintu rumah, pada
mobil, atau semisalnya dengan anggapan bahwa ia adalah sebab dalam
mencegah bahaya atau mendatangkan kemanfaatan. (Disarikan dari
penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh dalam atTamhiid
lisyarhi Kitaabit Tauhid). Dalam bahasa Indonesia banyak disebut dengan
‘jimat’.
Jika tamimah yang dikalungkan tersebut berupa AlQur’an, terdapat perbedaan pendapat dari para Sahabat Nabi,
Pendapat pertama : boleh.
Yang berpendapat demikian adalah : Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash dan riwayat dari ‘Aisyah
Pendapat yang memperbolehkan mengalungkan/ memakai sesuatu sebagai semacam tamimah ini dengan syarat:
1. Berupa ayat-ayat al-Quran
2. Berupa kalimat-kalimat yang ditulis dalam bahasa Arab, bukan ‘ajam
(bahasa non Arab) dan bukan dengan tulisan yang tidak bisa dibaca
3. Berkeyakinan bahwa kesembuhan dari Allah, bukan dari sesuatu yang digantungkan tersebut.
(Lihat I’anatul Mustafiid bisyarhi Kitaabit Tauhid karya Syaikh Sholih al-Fauzan juz 1 halaman 269).
4. Dipakai bukan untuk mencegah sesuatu yang belum terjadi, tapi sebagai bentuk pengobatan terhadap hal yang sedang diderita.
Tambahan syarat yang ke-4 ini adalah pendapat dari Aisyah –radliyallaahu ‘anha- dan dikuti oleh Imam Malik.
Sedangkan ‘Aisyah berpendapat bahwa yang termasuk kategori tamimah
(yang dilarang Nabi) adalah yang dipakai untuk mencegah datangnya
musibah (bahaya atau penyakit). Jika dipakai setelah terkena musibah,
seperti dipakai oleh orang yang sakit untuk meredakan rasa sakitnya,
karena yang dikalungkan berisi AlQuran (untuk mengharapkan keberkahan),
maka tidak mengapa.
Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah:
التَّمَائِمُ مَا عُلِّقَ قَبْلَ نُزُوْلِ الْبَلاَءِ وَ مَا عُلِّقَ بَعْدَهُ فَلَيْسَ بِتَمِيْمَةٍ
Tamimah (yang terlarang ) itu adalah yang dikalungkan sebelum datangnya
bala’ (musibah), sedangkan yang dikalungkan setelahnya bukanlah tamimah
(riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak dishahihkan olehnya dan disepakati
oleh adz-Dzahaby).
Terkait poin syarat yang kedua, bahwa harus
berupa kalimat-kalimat / untaian kata-kata dalam bahasa Arab, sesuatu
yang digantungkan tersebut tidak boleh berupa huruf-hurf yang terpotong
(meskipun ia adalah huruf Arab).
Disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany:
وسئل بن عبد السلام عن الحروف المقطعة فمنع منها ما لا يعرف لئلا يكون فيها كفر
Ibnu AbdisSalaam ditanya tentang huruf-huruf yang terpotong, maka ia
melarangnya selama tidak diketahui (maknanya), agar tidak (terjerumus)
pada kekufuran (Fathul Baari juz 10 halaman 197).
Pendapat Kedua: Tidak Boleh.
Tidak diperbolehkan menggantungkan sesuatu semisal jimat, baik yang tertulis adalah AlQuran atau bukan.
Ini adalah pendapat Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Hudzaifah Ibnul Yaman, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Ibnu Ukaim.
Alasan tidak diperbolehkannya perbuatan tersebut:
1. Larangan Nabi dalam hadits tersebut bersifat umum.
2. Sebagai upaya saddun lidzdzari’ah (menutup pintu untuk mencegah
terjadinya hal-hal lain yang mengarah pada larangan atau kemudharatan
yang lebih besar).
Jika pada awalnya hanya diperbolehkan untuk yang
berisi ayat-ayat al-Quran, secara berangsur-angsur manusia akan terseret
untuk bermudah-mudahan, sehingga diperbolehkan juga tulisan-tulisan
yang tidak mengandung AlQur’an.
Selain itu, hal tersebut bisa
dijadikan sekedar kedok untuk menutupi kesyirikan. Kebanyakan tamimah
adalah sesuatu yang terbungkus rapat dan terjahit dengan kuat dan tidak
terlihat apa yang ada di dalamnya. Ketika seseorang menggunakan tamimah
yang tidak mengandung AlQur’an, dia bisa mengelak dan mengatakan bahwa
di dalamnya adalah AlQuran. Atau, bisa saja, seseorang mengurungkan
niatnya untuk memberikan nasihat kepada seseorang yang memakai tamimah,
sekedar karena ia berpikiran: ‘mungkin tulisan yang ada di dalamnya
adalah Al-Qur’an’, padahal sebenarnya bukan (disarikan dari penjelasan
Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh dalam atTamhiid lisyarhi
Kitaabit Tauhid).
3. Mengalungkan atau menggantungkan sesuatu
dari AlQuran mengandung unsur merendahkan derajat AlQuran dari kadar
yang semestinya. AlQuran diturunkan Allah untuk dibaca, bukan untuk
dikalungkan pada sesuatu. Lebih-lebih jika digantungkan pada anak kecil
(sebagaimana yang diriwayatkan dari perbuatan Abdullah bin ‘Amr bin
al-Ash), peluang terhinakannya ayat-ayat al-Quran lebih besar. Sulit
menjaga anak kecil untuk tidak mengotori sesuatu yang dikalungkan
tersebut dari air liurnya, kebiasaannya yang bermain-main di tempat yang
basah dan kotor, dan semisalnya.
Pendapat kedua ini adalah pendapat yang rajih (lebih kuat).
4. Tiwalah/ Tawliyah
Tiwalah adalah sesuatu yang dipakai untuk semakin menambah perasaan
cinta seorang istri kepada suaminya, dan sebaliknya. Sebagaimana
dijelaskan dalam riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Padahal tiwalah
tersebut bukanlah sebab syar’i maupun qodari.
Syaikh Muhammad bin
Sholih al-‘Utsaimin memberikan contoh, tukar cincin sepasang suami istri
yang disertai dengan keyakinan bahwa selama cincin itu masih melekat
pada kedua mempelai, akan mempererat jalinan hubungan keduanya. (Lihat
al-Qoulul Mufiid syarh Kitaabit Tauhid).
Syariat dalam Islam sangat
menganjurkan hal-hal yang bisa semakin merekatkan hubungan dan
meningkatkan perasaan cinta kasih di antara suami istri, namun hal-hal
itu tidak ditempuh dengan hal-hal yang mengandung unsur kesyirikan,
kebid’ahan, maupun kemaksiatan.